CERITA (mungkin) belum punah. Pagi bertokoh pencuci. Sejak puluhan tahun, orang-orang mengenali tokoh itu ibu. Konon, ujaran atau ajaran para leluhur menempatkan ibu dalam peran mencuci. Peran berpengaruh dalam kehormatan. Di keluarga, ibu adalah penanggung jawab nasib beragam pakaian. Mencuci diselenggarakan rutin. Ibu memiliki ilmu dan selera merek. Mencuci bukan pekerjaan sembarangan. Ibu ingin pakaian-pakaian dicuci menjadi bersih, wangi, dan awet. Pada masa 1950-an, para ibu dibujuk menggunakan Sabun Tjutji Tjap Tangan-Sunlight. Di majalah Wanita edisi 25 Juni 1957, dipasang iklan sabun cuci itu: “Njata benar bedanja bila ditjutji dengan Sabun Tjap Tangan.”

Gambar dua ibu berpenampilan anggun. Seorang ibu memegang sabun cuci. Sabun itu bersinar! Ibu mau pergi ke mana? Pergi ke pesta atau hajatan tak perlu membawa sabun cuci. Di samping, ada ibu berwajah iri, tak membawa apa-apa. Iklan mirip “pidato” penuh seru(an). Para ibu seperti berada di hadapan orator ulung: “Njonja tinggal memutuskan! Njonja dapat menggosok tjutjian Njonja dengan sabun biasa jang kasar. Atau menghemat pakaian Njonja dengan ‘memandikannja’ dalam busa jang berlimpah-limpah dari Sabun Tjap Tangan.” Dulu, bocah-bocah sering menemani atau mengganggu ibu saat melihat di ember cucian ada unthuk (busa) Ah, ibu sedang mencuci dan bocah digembirakan bermain unthuk. Senang!
kalo saya sih kadang2 aja kalo mau mencuci, selebihnya ya ibu yang mencuci pakaian hhee…
LikeLiked by 1 person