Yunie Sutanto
Selama hati kita hangat dan terus berdenyut seperti semestinya, kita takkan mungkin kedinginan.
(Astrid Lindgren, Pippi di Negeri Taka-Tuka, 1984)
DINGINNYA udara pagi di Jakarta, 10 Agustus 2021. Seolah angin pegunungan bertiup menerpa tubuh. Lebih dingin dari AC bersuhu 20 derajat Celcius, yang biasa kami setel. Pippi, Thomas, dan Annika pun sedang kedinginan sebab sudah musim salju. Namun, Pondok Serbaneka belum menyalakan pendiangannya. Dingin! Tubuh menggigil, tangan bergetar dan bibir serta gigi pun turut gemeletakan jika terlalu lama kedinginan.

Tapi, ada dingin yang lebih membekukan. Dinginnya hati. Terbaca di Alkitab bahwa kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin (di akhir zaman). Dinginnya udara masih tak semenyakitkan dinginnya hati. Selama hati ini hangat, masih ada harapan.
Dinginnya ujung telapak kaki anakku menandakan demamnya mulai merambat naik lagi. Kehangatan kasih seorang ibu masih memberikan harapan dan semangat untuk sembuh.
Betapa nelangsanya anak-anak yang memiliki ibu yang berhati dingin. Refridgerator mom, kata para ahli. Ibu yang hadir raganya semata, tanpa kehangatan emosi. Pippi yang tinggal sendirian di Pondok Serbaneka lebih beruntung daripada anak-anak yang punya ibu yang dingin.