Margarita Riana
Sudah sering kau kirim surat
Namun tak pernah aku jawab
Lalu kukirimkan undangan
Agar kau tak berharap
Bukannya aku tak tega
Bukan pula aku tak cinta
Karena orang tua
Yang tak merestui cinta
(Iklim, “Bukan Aku Tak Cinta”)
UNDANGAN pernikahan diberikan utusan si empunya acara. Mulanya ia mengkhususkan diri bertamu, berbincang basa basi menanyakan kabar. Pada akhirnya, menyampaikan pesan agar tuan rumah bersedia datang memberi salam dalam pernikahan.
Alamat-alamat ditulis seadanya di depan undangan. Menuliskan nama kota tempat tinggal dirasa cukup. Pengampu acara pernikahan sudah benar-benar memikirkan pemetaan distribusi pembagian undangan. Mengutus seorang perwakilan dari masing-masing kelompok untuk menyampaikan undangan pada angota kelompoknya.
Seorang wakil dari kelompok teman-teman kerja, dari kelompok teman-teman main, kelompok saudara satu trah keluarga dalam satu kota, atau kelompok keluarga satu trah dari luar kota diundang untuk datang dan memberikan kesediaannya menjadi perantara kabar. Sungkan dan sukar untuk menolak. Hanya dukungan dengan kata “ya” terucap. Si pembawa pesan sudah membawa kabar terperinci beserta undangan yang harus disampaikan.
Aneka bentuk undangan datang ke rumah. Bapak menggunakan pakaian rapi mempersilakan si pembawa pesan duduk dan berbincang. Cukup singkat hingga segelas teh tak mungkin tersaji. Undangan-undangan mulai menumpuk. Tempat khusus mulai disediakan untuk menyimpannya. Satu tas kertas besar berisi puluhan undangan berjejal. Besar, kecil, tebal, tipis, berukir emas yang timbul, dan berbau harum parfum atau hanya bau kertas adalah jenis-jenis undangan itu.
Tak habis pikir, kenapa undangan-undangan begitu berharga. Padahal, acara sudah selesai terselenggara. Memotong-motong undangan menjadi kesalahan besar. Belum mengerti kegunaan undangan itu. Hari besar di keluargaku datang. Pertama kali kami mengadakan acara ini. Manten masku yang pertama. Bapak kembali membuka koleksi undangan. Tidak hanya untuk melihat bentuk undangan dan cara penulisan acara tetapi juga untuk melihat alamat. Ternyata, alamat inilah yang dicari.
Ibu mengambil catatan di buku tulis biasa berisi nama-nama orang yang pernah mengundangnya ke hajatan mereka. Bapak menyebut nama orang tua yang tertulis dalam undangan tepat di bawah nama mempelainya. Bapak tak lupa mengucap alamat yang tertulis dalam undangan pelan-pelan.
Satu per satu namun pasti selesai sudah penulisan alamat tamu undangan. Tamu yang dulu pernah mengundang mereka. Mulai menuliskan lagi nama-nama yang belum disebut mencocokkan kelompoknya untuk mengira alamat.
Di luar kesibukan menulis nama dan alamat, terdengar lagu sendu berjudul “Surat Undangan” yang dinyanyikan oleh Poppy Mercury pada era 1990an.
Surat undangan pernikahan itu
kugenggam erat di tanganku
Hanya doa restu yang kupersembahkan
semoga engkau bahagia
Sendiri lagi seperti dahulu
tanpa dirimu disisiku
Tetes air mataku hatiku pedih
membasahi undangan pernikahanmu
Surat undangan era ini dibuat tanpa menggunakan kertas. Tidak perlu repot mencetak dan mencatat alamat rumah tamu undangan. Tak akan bekas ada tetesan air mata bulat dari hati yang terluka di atas kertas undangan. Air mata hanya akan membasahi gawai untuk melihat undangan. Alamat-alamat tak perlu didapat. Nomor-nomor yang perlu dikumpulkan. Alamat-alamat surat elektronik yang perlu dikumpulkan. Orang-orang utusan tak perlu dikumpulkan untuk menyampaikan informasi. Kunjungan ke rumah tak diperlukan lagi. Tak perlu menyapa dan berbasa basi.
Komunikasi berkurang. Manusia menyampaikan kabar gembira tanpa perlu terlibat perasaannya. Pembawa kabar gembira yang bertamu berkurang. Kunjungan-kunjungan tidak diperlukan lagi. Sapaan hangat tersusun dalam kalimat pesan di masing-masing gawai para tamu undangan dirasa cukup. Alamat rumah tidak penting lagi. Alamat surat elektronik dan nomor-nomor tergunakan di gawailah yang penting.
Margarita Riana, ibu di Jemaah Selasa, tinggal di Jogjakarta